Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) Jakarta kembali menggelar diskusi Bincang Kampus edisi kedua melalui Youtube UTM Jakarta, yang kali ini mengangkat tema “Demokrasi Kampus: Ruang Aspirasi, Partisipasi, dan Kebebasan Berpendapat”. Acara ini bertujuan untuk membahas pentingnya demokrasi di lingkungan akademik serta bagaimana mahasiswa dapat berperan aktif dalam dinamika politik kampus.

Dipandu oleh Wilda Eka Adyanti selaku Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma) BEM UTM Jakarta, diskusi ini menghadirkan dua narasumber utama, yakni Nabin Nabila selaku Ketua Komite Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM) dan Mohammad Fajr Febriansyah sebagai Ketua Panitia Pengawas Pemira (Panwas).
Dalam diskusi, Nabin menjelaskan bahwa demokrasi kampus merupakan miniatur dari sistem demokrasi di dunia nyata. Mahasiswa tidak hanya diberikan hak untuk memilih pemimpin, tetapi juga dilatih dalam proses pengambilan keputusan dan menyampaikan aspirasi mereka.
“Demokrasi kampus memungkinkan mahasiswa untuk terlibat aktif dalam kebijakan akademik dan organisasi kemahasiswaan. Ini adalah wadah bagi mereka untuk berpartisipasi, menyampaikan pendapat, dan belajar mengenai transparansi serta akuntabilitas,” ujar Nabin.
Mohammad Fajr Febriansyah menambahkan bahwa demokrasi kampus juga menciptakan ruang diskusi yang sehat dan mendorong mahasiswa untuk lebih kritis. “Demokrasi bukan hanya tentang memilih Ketua BEM atau anggota legislatif mahasiswa, tetapi juga membangun lingkungan kampus yang inklusif dan partisipatif,” ungkapnya.
Salah satu tantangan terbesar dalam demokrasi kampus adalah minimnya keterlibatan mahasiswa dalam politik kampus. Banyak yang menganggap politik sebagai hal yang rumit dan tidak relevan dengan kehidupan akademik mereka.
“Setiap kebijakan kampus, baik itu alokasi dana kemahasiswaan maupun aturan organisasi, adalah bagian dari dinamika politik. Jika mahasiswa tidak peduli, maka kebijakan tersebut bisa saja dibuat tanpa mempertimbangkan kepentingan mereka,” jelas Fajr.
Nabin menambahkan bahwa mahasiswa yang tidak ikut serta dalam politik kampus justru kehilangan kesempatan untuk membawa perubahan. “Jika kita tidak peduli, maka ruang-ruang pengambilan keputusan akan diisi oleh pihak-pihak yang mungkin tidak mewakili aspirasi mahasiswa secara luas,” tegasnya.
Dalam menghadapi rendahnya partisipasi mahasiswa dalam Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira), Nabin dan Fajr menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih intens. Mereka mengusulkan penggunaan media sosial, forum diskusi, serta debat kandidat yang menarik agar mahasiswa lebih merasa memiliki suara yang berarti.
Selain itu, Fajr menegaskan bahwa pengawasan terhadap proses demokrasi kampus harus dilakukan secara ketat dan transparan. “Mahasiswa harus diberikan ruang untuk melaporkan pelanggaran tanpa takut akan intimidasi. Transparansi adalah kunci utama agar demokrasi berjalan adil dan bebas dari kecurangan,” jelasnya.
Diskusi Bincang Kampus #2 ini diharapkan dapat membuka mata mahasiswa tentang pentingnya demokrasi dan keterlibatan dalam politik kampus. Wilda Eka Adyanti menutup acara dengan mengajak seluruh mahasiswa untuk tidak melewatkan kesempatan dalam Pemira tahun ini.
“Gunakan hak suara kalian dengan bijak dan jadilah bagian dari perubahan di kampus. Jangan lupa untuk selalu update informasi seputar Pemira dan tetap kritis dalam menyuarakan aspirasi!” tutup Wilda.
Simak diskusi selengkapnya di sini https://www.youtube.com/watch?v=DsApKBFD_v0 dan https://open.spotify.com/episode/3wFtOWaqcdIz4sflBuQh74?si=xbxnJki0QBu4Mcl5Ke1PPA